Elegi Kepiting Mungil
Kamis, 25 November 2010
Ini Berjudul Rindu
Hujan baru saja reda, aku baru sadar kalau aku rindu sejuk aroma tembakau sebelum hujan tiba. Aroma yang khas dan aku suka itu. Aroma harum tembakau yang selalu bikin aku diam sejenak dekat jendela menanti hujan turun, lalu termangu melihati air hujan berebutan menyentuh tanah. Aku rindu itu semua. Rindu lantunan suara kaset murottal yang diputar sebelum bel masuk sekolah berbunyi. Rindu seruan adzan dari menara yang merdu itu. Rindu rintihan doa central saat awal pembelajaran dimulai. Dan bahkan aku rindu aroma khas sambel dari dapur PPYUR yang entah kenapa aku selalu saja kebagian kelas dekat dapur, bau masakan yang selalu membuat kami sekelas ga konsen pada pelajaran gara-gara laper duluan. Rindu semua yang tak ada disini. Kemarin temen kostku tanya aku sholawat nariyah, aku terdiam dan baru sadar bahwa sudah lama banget aku tak mendengar sholawat itu, apalagi membacanya. Ya Rohiim, sepertinya rindu ini menyerangku.
Aku juga bahkan mulai jarang menyentuh mushafku, mushaf pemberian seorang sahabat sebagai kenang-kenangan perpisahan kami. Sebagai gantinya, hanya bisa memutar kaset murottal 30 juz yang aku bawa dari rumah, atau kalau tidak, file 30 juz yang baru saja aku copy dari Ago berbisik lembut dari laptop mungil ini.
UTS semester pertama sudah lewat, tapi aku yakin hasilnya pun hanya alakadarnya. Menyesal sangat melewati awal-awal kuliah ini hanya dengan main-main. Bahkan menurut temen kostku aku terlihat lebih serius latian Ratoeh Duek ataupun rapat daripada kuliah. Aku harus kembali menata niat, memusatkan pikiran pada belajar, mufrodat yang sudah ada pun pada kabur entah kemana. Aku jadi pengen ketawa kalau inget UTS percakapan arab kemarin, bahasa arabnya “pegawai” aku lupa dan bener-bener lupa. Apalagi linguistik, aku hanya paham sampai fonetik saja, itupun tak paham semuanya. Masih kebawa zaman sekolah dulu, megang buku ya saat masukin ke dalam tas doang. Payah jiddan ini. Kenapa begini ya? Apa karena efek kangen stadium akhir sama temen-temen dahulu? Tak taulah, tapi kurasa tidak. Tapi aku hanya cukup kaget ketika tak ada lagi sosok-sosok seperti mereka disekelilingku.
Ah, aku rindu lagi, rindu cerita kebodohan yang sering aku lakukan, rindu curhat sampe mata tembem gara-gara nangis untuk hal yang tak perlu ditangisi, rindu disemangati temen-temen yang selalu ada buat sekedar bilang “ Semangat ukhti!!! Aku mendoakanmu.” Rindu sangat kepada mereka. Rindu untuk mendengar curhat mereka meski aku tak pernah tau solusinya. Rindu untuk duduk di sebelah mereka menunggu tangis mereka reda, seperti mereka yang hanya duduk diam saat mataku mulai banjir air mata, menunggui aku selesai menangis kala aku bener-bener tak tau harus melakukan apa untuk diriku sendiri. Aku rindu gelak tawa mereka yang penuh ide gila. Aku rindu sama si
adek kelas
yang aku tau dia pengen cerita banyak tapi tak pernah cerita. Dia yang aku tahu selalu ingin ada untukku saat terakhir aku disana. Dia yang ingin sekali mendengar ceritaku yang ngalor ngidul tak pernah jelas. Dia yang tak lagi menemukan kawan telat berangkat sekolah selain aku. Dia yang aku yakin sampai sekarang masih berharap kami bisa berteman akrab seperti dahulu. Dia yang pernah sama seperti aku yang hampir kabur dari masalah kami. Dia orang yang ingin aku lihat sebelum benar-benar pergi dari sana meskipun akhirnya aku hanya bisa titip salam sayang dan beribu maaf untuknya. Aku rindu dia, rindu mereka, rindu semua.
Allah, untuk mereka semua yang kurindukan, cukup jaga dan sayangi mereka, itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Posting Lebih Baru
Posting Lama
Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar